Menjadi Sederhana di Media Sosial
Menjadi Sederhana di Media Sosial
Ditengah keheningan, suasana memaksaku untuk dapat terhubung
dengan orang lain. Beberapa detik selanjutnya, wajahku sudah terpapar dengan
cahaya layar handphone yang sudah terkoneksi dengan internet dan media sosial. Aku
ber-Aparatte-, menghilang, kemudian
jatuh-terjerembab, terdesak dengan derasnya arus informasi, aku jatuh dalam
keriuhan ‘koneksi’. Dan bermenit-menit selanjutnya, aku memenuhi tuntutan otakku,
“aku tidak benar-benar sendiri’.
Aku percaya, siapapun orangnya, pasti mengalami jeda, sebuah
suasana yang menuntut untuk dapat terhubung dengan orang lain. Layaknya sebuah
kodrati, “manusia butuh orang lain”. Sebelum aku menulis ini, aku melakukan
riset dan mencari dasar, sebuah teori tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan seonggok
daging yang disebut manusia ini. Dan aku menemukannya, bejibun teori sebenarnya,
Aah aku tidak mau tulisan ini
membosankan, biar itu jadi urusan fakultas sebelah. Mari kita agak berfilosofis.
Beberapa hari aku membaca tentang apa hal yang paling membuat manusia menjadi bahagia,
dan kau tau? cinta dan keterhubunganlah yang menjadi nomor wahid, sebentar biar kuperjelas, ini cinta yang bersifat universal, bukan cinta kamu dengan dia
yang memilih dia yang sebenarnya dia tidak cinta dia, dan dia memilih dia, yang
sebenarnya dia memilih kamu sebagai pilihan dia. Sebentar, sepertinya aku butuh
air!
Sebenarnya yang paling bikin baper, lebih spesifik lagi, Malsow
(ahli psikologi) secara cerdas mengatakan—dan aku sangat setuju dengannya—,
bahwa kebutuhan mendasar manusia salah satunya adalah butuh ‘perhatian’, sebuah
kebutuhan harga diri untuk mendapatkan peng-aku-an dari orang lain, kita butuh
dianggap ada.
Bentar! HPku bergetar, notifikasi baru bermunculan. Aku masih
dalam ilusi keramaian media sosial. Biar kupermudah, menurutku ada keterhubungan
antara kebutuhan manusia yang kujelaskan dengan media sosial. Mau menebak? Betul,
yah aku menganggap bahwa secara ajaib media sosila memberikan ruang yang luas untuk
berinteraksi dan kemudahan pengakuan dari orang lain lewat like, share dan
komentar dari para netizen budiman.
Namun, ada resah dalam dada ini, byuh byuh [!]. Mari kuperjelas, berinterkasi di media sosial sangatlah
mudah, cukup melihat sebuah postingan sebuah akun, kemudian menentukan, apakah menarik,
apakah perlu untuk memberi like, komentar atau beralih melalui personal message untuk postingan yang
dibuat.
Teman, ada hal yang entah aku saja atau kamu juga merasakan,
bahwa untuk mendapatkan perhatian di media sosial itu tidak mudah, ada hal yang
harus dibayar. Dan aku resah karenanya.
Ibarat sebuah kurva, beberapa orang di media sosial sering
memposikan diri mereka dibagian paling atas kurva atau paling bawah dalam
sebuah kurva. Kurva apa? kumohon, jangan membuatku belajar matematika. Mari kuperkenalkan
Mark Manson—penulis The Subtle Art of Not Giving a f*ck, beliau
yang akan menjelaskannya, silahkan bray!
Menjadi
rata-rata telah dianggap sebagai standar baru kegagalan. Perhatikan, hal paling
buruk yang Anda hadapi adalah berada di tengah-tengah kawanan, di tengah-tengah
kurva lonceng. Saat standar kesuksesan suatu budaya adalah dengan “menjadi luar
biasa”, maka akan lebih baik berada di sudut bawah kurva lonceng tersebut
daripada ditengah, karena disana, minimal Anda masih dianggap Istimewa dan
berhak menerima perhatian. Banyak orang memilih strategi ini, untuk membuktikan
kepada semua orang bahwa merekalah yang paling menderita, atau yang paling
tertindas, atau yang paling menjadi korban.
Nah itu menyangkut kurva, ada hal yang sebenarnya yang ingin
kuperjelas Aku mencari beberapa artikel
mengenai fenomena yang relate dengan
maksudku ini, dan kutemukan fakta bahwa remaja
dan orang dewasa, merupakan pengguna media sosial terbesar yang sering
mengungkapkan kekecewaan, kesedihan,
dan kesulitan hidupnya di media sosial. Dan disisi lain, tak terhitung banyaknya
orang yang mengupload momen kebahagiaannya untuk sejujurnya berbagi atau
berkedok mencari perhatian agar dapat berinteraksi.
Hidup kita sekarang terpapar dengan informasi dari sisi
ekstrem kurva pengalaman manusia. Banjir bandang informasi ekstrem ini telah
mengkondisikan kita untuk percaya bahwa keistimewaan
adalah suatu standar kenormalan yang baru. Disatu sisi ada fenomena dimana kita
terus-menerus dalam perlombaan untuk terus mencoba memposting video, foto, dan
pembaruan status terbaik untuk menerima yang paling disukai. Dan di bawah
kegilaan media sosial, kita sebenarnya berusaha untuk menyombongkan diri dan
menunjukkan momen terbaik dalam hidup kita.
Bukankah bahagia itu sederhana (?). Namun di era kekinian
bahagia perlu disahkan-perlu justifikasi oleh pendapat orang lain. Bahagia
harus dibagi di media sosial. Seolah, seseorang belum benar-benar bahagia jika
orang lain belum tahu. Saat perlu orang
lain untuk menjustifikasi kebahagiaan kita, dan bahagia menjadi ranah kuasa
orang lain, masihkah bisa disebut bahagia? Saat
tidak ada orang yang memberikan komentar di status terbaikmu, apakah temanmu benar
benar tidak peduli?
Aku sangat paham bahwa media sosial
adalah tempat berbagi, sharing moment.
Namun alangkah baiknya jika spirit
membagikan bukan lagi untuk mencari perhatian tapi untuk spirit berbagi
kebermanfaatan. Aah tentu nanti pasti
banyak sanggahan. Aku percaya kendali penuh dalam sebuah postingan adalah niat,
dan mari bagikan kebahagiaanmu dan penderitaanmu dengan maksud dan niat yang
baik, dan niat tentu saja, kembali kepada pelakunya yakni kamu, iya kamu!
Konlusi,
kumohon !
Bentar, kacanya agak suram, kuusap,
aah sedikit jelas. Kawan, aku juga masih belajar untuk melawan apa yang aku
namakan ilusi media sosial, aku tidak
mau terjebak dengan like, komentar, pendapat dari status yang aku buat. Akupun tidak
mau memiliki adiksi untuk terus menerus memposting sesuatu yang menuntut
perhatian orang lain. Dan tulisan ini mungkin mencoba menghasut anda untuk
melakukannya juga.
Kawan, Inti yang sedang aku bahas
sebenarnya spirit untuk berbagi di media sosial perlu dasar yang baik, entah
itu kebermanfaatan, berbagi wawasan dan informasi, membagikan hal yang lucu
atau lainnya. Satu hal lain, yakni tidak perlu orang lain untuk menjustifikasi
kebahagiaan kita, tidak perlu merasa orang lain harus peduli dengan kebahagiaan
yang kita rasakan. Dan terakhir aku berpesan Jadilah temanku yang sederhana di media sosial, jadilah sederhana yang
menenangkan. dan jadilah teman yang sesungguhnya di dunia nyata. Aku menyayanginya,
eh. Kamu juga!

Bagus zal. Membuka wawasan dan pemikiran. Jadi keinget alasan awkarin mau ngejual ignya kmrn. Hampir sama alasannya. Banyak orang di dunia bahagia karna like tp tak bahagia karna gaada like. Padahal masih banyak hal yang bikin bahagia selain like. Terimakasih nasehatnya zal.
BalasHapusIlusi media sosial menjadi salah satu wacana dalam diskusi publik. Bahkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah berkata "kesederhanaanmu dalam keseharian akan memuliakanmu dalam segala hal". Ku rasa kesederhanaan dalam bermedsos akan menjadikan harga jual orang itu lebih tinggi daripada ia yang hanya suka berilusi di media sosial.
BalasHapus