Sosok Sekilas
Malang, 06/02. 12.59 AM.
Bus Puspa Indah; Jombang-Malang.
Aku sangat yakin bahwa kalian setiap
hari selalu bertemu dengan mereka, sosok di jalan, ,tempat umum, lorong kampus
atau di keramaian lainnya. Sosok yang tidak kalian kenal, yang wajahnya tidak familiar,
sosok sekilas yang hanya bertemu sekali, dan hilang dalam alur hari lain. Aku
selalu bertanya kenapa Tuhan memberikan alur tersebut, kenapa harus bertemu dan
melihatnya jika tidak ada hikmah dan untungnya.
Aku tersadar pula oleh nasihat
guruku, bahwa setiap perjalanan adalah
pelajaran, dan sikapilah semua orang dalam perjalanan sebagai gurumu, maka berhentilah
sejenak, berkomunikasi dan galilah nilainya.
Aku bertemu dengan guruku hari ini, izinkan
aku berceloteh disini;
Perjalananku menggunakan bus untuk pulang
atau kembali ke perantauan terkadang datar, menyenangkan, menyesakkan ataupun
seperti hari ini, penuh dengan nilai. Hari ini aku tertidur hanya setengah jam
di bus—sebuah catatan tidur yang baik—, cuaca hujan yang mendukung dan
kondektur yang tidak akan membangunkan karena sudah ku bayar lunas diawal
menambah kekhusyukkan ritual tersebut. Terbangun
tepat saat pedagang tahu asin dan kawan kawannya masuk dalam bus, aku membeli
telur puyuh—ini juga bagian dari ritual—, tentu saja aku menawarkan telur
tersebut kepada manusia yang sejak tadi duduk disampingku.
Ku kenalkan, namanya ‘pak imam’, seorang
penjaga villa pribadi di daerah Pesanggrahan Batu, villa itu milik juragannya
yang sekarang tinggal di Singapura. Beliau asli Bojonegoro, anak dan istrinya
tinggal di Bojonegoro. Ngomong-ngomong tentang anaknya. Anaknya 1, sudah
menempuh dan diwisuda untuk jenjang master jurusan matematika di UNAIR
Surabaya. Aku pun tertarik bertanya beasiswa apa yang anaknya dapatkan, karena logika
praktisku mengatakan biaya gaji sebagai penjaga villa tidak akan cukup menutupi
biaya kuliah dijenjang master. Pak imam hanya tersenyum sederhana dan menjawab “pakai
biaya mandiri le”. Otakku meminta penjelasan, namun kucukupkan tak mungkin aku
bertanya berapa gaji beliau.
Seperti sedang menonton film dengan judul ‘Rentang Kisah
Si Imam’, aku disodorkan dengan cerita perjalanan beliau. Pak imam yang dulu
sebagai pedagang sayur, kemudian membantu penjaga villa sebelum beliau yang
sudah renta untuk merawat villa sekedar memotong rumput dan merapikan tanaman.
Anak penjaga villa sebelumnya tidak ada yang tertarik dengan pekerjaan
tersebut, alhasil pak imam lah yang menggantikan sebagai penjaga villa. Beliau menutupnya
dengan “iyo rejekiku le”. Saat sesi akhir pak imam bercerita tentang proses
kuliah anaknya, anaknya di sekolahkan S1 Matematika di Brawijaya dan S2
Matematika pula di UNAIR dengan biaya dari juragannya yang meminta anaknya
harus kuliah, sekarang anaknya bekerja sebagai guru di Bojonegoro, sempat gagal
tes CPNS tahun ini, hingga cerita tawaran bekerja di singapura bersama juragan
beliau.
Pak
imam bercerita banyak, mulai tentang pandangan politik, suasana villa, tentang
buah durian yang dikirimnya untuk juragannya di Singapura. Tapi karena takut nglambyar, jadi di cukupkan saja.
Kau tau apa yang ku kagumi dalam skenario Allah satu ini,
adalah tentang nilai “sederhana yang menenangkan”. Pak imam ketika bercerita
tak pernah sekalipun terceletuk kata sesal ataupun keluh-kesah, yang ada hanya
syukur. Wajahnya sederhana, tersenyum ketika menceritakan kebaikan juragannya,
kebaikan anak juragan yang memberi uang lebih untuk gajinya, kebaikan Allah untuk
memberi alur hidup satu ini kepadanya. Kurang apa lagi ?, rezekinya sudah
dicukupkan.
Terimakasih pak imam, sosok sekilas yang memberiku nilai;
bahwa apa yang lebih berhaga dari sebuah ketenangan?

Sederhana, luar biasa 👍
BalasHapusSemoga memberi manfaat yul
HapusSukaa
BalasHapusYeah. Matursuwun mbak tsan.
HapusKok terharu yaa,
BalasHapusHmm Bojonegoro hm.
BalasHapusZal kurang dowo...pengen moco manehhh..hehe
Suka bangeeett sama celoteh akhi satu iniii😆
BalasHapusAlhamdulillah 🙏, sukses terus sam Rizfan,. Mantul sangat 👍, bisa menginspirasi banyak orang.. 👏
BalasHapusMantap zal.. Wkwk..
BalasHapus